SINOPSIS HAFALAN SHALAT DELISA
anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal
Masih ingatkah dengan Gempa dan tsunami di Aceh 26 Desember 2004? maka Delisa akan mengingatkan kembali ke anda pada tragedi luar biasa tersebut. Hafalan Shalat Delisa dalam bentuk film ini sepertinya akan bisa menggugah hati nurani anda yang terpuruk atas keadaan yang anda ciptakan sendiri. Dan kemungkinan akan menggugah rasa kemanusiaan anda.
Sepenggal lagu Iwan Fals, yang aslinya adalah berjudul Sore tugu Pancoran. Sepotong karya bermakna luas, tak terkecuali untuk kisah Hafalan Shalat Delisa. Dengan setting tempat berbeda, kisah Delisa berada jauh di Lhoknga, sebuah daerah yang di hiasi cantiknya panorama pantai senja. Lhoknya, berada sekitar 10 Km dari Banda Aceh. Lhoknga, porak poranda dihantam badai tsunami 26 desember 2004 silam. Dari sinilah kisah Delisa ini di mulai.
DELISA CINTA UMMI KARENA ALLAH
Delisa yang lugu, polos, dan kritis suka bertanya. Delisa kecil baru berusia 6 tahun, anak bungsu dari ummi Salamah dan abi Usman. Delisa mendapat tugas untuk menghafal bacaan-bacaan sholat, untuk selanjutnya akan di setor ke ibu guru Nur pada hari minggu 26 Desember 2004. Delisa ingin sekali bacaan sholatnya sempurna, tidak lupa-lupa dan terbolak-balik seperti waktu sebelumnya. Delisa ingin hafal untuk kesempurnaan sholatnya, untuk sujud kepadaMu. Delisa ingin hafal, karena Ummi telah menyiapkan hadiah kalung emas 2 gram berliontin D untuk Delisa, karean Abi akan membelikan sepeda untuk hafalan sholatnya jikalau lulus. Delisa ingin ya Allah.
Sebagai seorang anak bungsu yang berasal dari keluarga Abi Usman (Reza Rahadian), Ayahnya bertugas pada sebuah kapal tanker milik perusahaan minyak Internasional. Delisa begitu dekat sama ibunya yang ia panggil Ummi (Nirina Zubir), beserta ketiga kakaknya yakni Fatimah (Ghina Salsabila), serta si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi)
Pada 26 Desember 2004, Delisa bersama-sama Ummi tengah bersiap menuju ujian praktek shalat tatkala tiba-tiba terjadi gempa. Gempa yang memadai membikin ibu serta kakak-kakak Delisa ketakutan. Tiba-tiba tsunami menghantam dan menggulung desa kecil mereka, menggulung sekolah mereka, serta menggulung tubuh kecil Delisa dan ratusan ribu orang lainnya yang ada di Aceh dan beberapa pelosok pantai yang ada di Asia Tenggara
Delisa sukses diselamatkan Prajurit Smith, sesudah berhari-hari pingsan dalam cadas bukit. Sayangnya luka parah membikin kaki kanan Delisa perlu diamputasi. Penderitaan Delisa menarik hati iba banyak orang. Prajurit Smith pernah ingin mengadopsi Delisa apabila dia sebatang kara, tetapi Abi Usman berhasil menjumpai Delisa. Delisa bahagia berkumpul kembali dengan ayahnya, meskipun sedih mendengarkan kabar ketiga kakaknya sudah pergi ke surga, serta Ummi yang belum ketahuan berada di mana
Delisa kemudian bangkit, di tengah rasa sedih karena kehilangan, di tengah rasa putus asa yang menerpa Abi Usman serta orang-orang Aceh lainnya, Delisa sudah jadi malaikat kecil yang membagikan tawa pada setiap kehadirannya. Meskipun terasa berat, Delisa sudah memberi pelajaran betapa kesedihan dapat menjadi kekuatan buat tetap bertahan. Walau air mata rasanya tidak ingin berhenti mengalir, tetapi Delisa berusaha memahami apa itu ikhlas, mengerjakan sesuatu tanpa adanya mengharapkan balasan
Delisa masih bernafas, didalam pingsannya delisa melihat Ummi, kak Fatimah, kak Zahra dan kak Aisyah yang pergi tidak mengajaknya serta. Enam hari Delisa tergolek antara sadar dan tidaknya. Ketika tubuhnya di ketemukan oleh prajurit Smith yang kemudian menjadi mu’alaf dan berganti nama jadi prajurit Salam. Bahkan pancaran cahaya Delisa telah mampu memberikan hidayah pada Smith untuk bermu’alaf.
Dalam perawatannya, Beberapa waktu lamanya Delisa tidak sadarkan diri, keadaannya tidak kunjung membaik juga tidak sebaliknya. sampai ketika seorang ibu yang di rawat sebelahnya melakukan sholat tahajud, pada bacaan sholat dimana hari itu hafalan shalat delisa terputus, kesadaran dan kesehatan Delisa terbangun. kaki delisa harus diamputasi. Delisa menerima tanpa mengeluh. luka jahitan dan lebam disekujur tubuhnya tidak membuatnya berputus asa. Bahkan kondisi ini telah membawa ke pertemuan dengan Abinya. Pertemuan yang mengharukan.
Delisa ingin menghafal bacaan sholatnya. susah, tampak lebih rumit dari sebelumnya. lupa dan benar-benar lupa, tidak bisa mengingatnya. Lupa juga akan kalung berliontin D untuk delisa, lupa akan sepeda yang di janjikan abi. Delisa hanya ingin menghafal bacaan sholatnya.
“orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa… Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan…”
“orang-orang yang kesulitan melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa… Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan…”
Bukan karena Allah, tapi karena sebatang coklat, sebuah kalung berliontin D untuk Delisa, dan untuk sepeda.Dan malam itu Delisa bermimpi bertemu dengan umminya, yang menunjukkan kalung itu dan permintaan untuk menyelesaikan tugas menghafal bacaan sholatnya. Kekuatan itu telah membawa Delisa pada kemudahan menhafalnya. Delisan mampu melakukan Sholat Asharnya dengan sempurna untuk pertama kalinya, tanpa ada yang terlupa dan terbalik. hafalan sholat karena Allah. dan hadiah itu datang pada Delisa, Delisa menemukan kalung D untuk Delisa dalam genggaman jasad Umminya. Sesudah 3 bulan lebih.
***
Membacanya membuat aku sentimentil banget, terharu, cukup membuat perasaan ini teraduk-aduk. Mungkin inilah salah satu keajaiban tsunami diantara banyak keajaiban-keajaiban yang lain. Saya kurang tahu apakah tulisan ini adalah sebuah kisah nyata atau fiktif, tapi ini sangat mungkin terjadi kala itu.
***
Membacanya membuat aku sentimentil banget, terharu, cukup membuat perasaan ini teraduk-aduk. Mungkin inilah salah satu keajaiban tsunami diantara banyak keajaiban-keajaiban yang lain. Saya kurang tahu apakah tulisan ini adalah sebuah kisah nyata atau fiktif, tapi ini sangat mungkin terjadi kala itu.
Ada satu pertanyaan dari saya, apakah penulis buku ini pernah datang ke Lhoknga atau belum. karena dalam cerita buku ini digambarkan seolah-olah jarak Lhoknga ke Banda Aceh itu adalah jarak yang jauh, yang apabila sudah berpisah akan sulit untuk bertemu kembali. Padahal kan paling cuman 10Km atau paling lambat 15 menit perjalan dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Sumber :GOOGLE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar