I. DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM
Haid adalah darah yang dikeluarkan dari rahim apabila perempuan telah mencapai usia balig. Setiap bulan perempuan mengalami masa-masa haid dalam waktu tertentu. Jangka waktu haid minimal sehari semalam dan maksimal selama lima belas hari, namun umumnya adalah enam atau tujuh hari.
Jika perempuan hamil dengan izin Allah darah haid itu berubah menjadi makanan janin yang berada di dalam kandungannya. Maka, perempuan hamil tidak mengalami haid. Dalam masalah haid ini, perempuan dikelompokkan menjadi tiga kelompok: mubtada'ah (perempuan yang baru menjalani haid untuk pertama kalinya), mu'tadah (perempuan yang sudah terbiasa menjalani haid), dan mustahadhah (perempuan yang darahnya keluar dan tidak berhenti.
Mubtada'ah adalah perempuan yang baru pertama kali mengalami haid. Jika melihat ada darah keluar, ia harus meninggalkan salat, puasa, jimak (berhubugan suami istri), dan amalan lain yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang haid, hingga datangnya masa suci. Jika dalam masa sehari semalam ia melihat kesuciannya, hendaknya segera mandi dan menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Jika darahnya tidak berhenti selama lima belas hari, perempuan tersebut dianggap sebagai perempuan mustahadhah.
Mu’tadah adalah perempuan yang sudah terbiasa menjalani haid. Jika telah selesai menjalani masa haid, kemudian ia mendapati darah berwarna kekuning-kuningan atau berwarna keruh, hal tersebut tidak perlu dihiraukan. Artinya, darah tersebut tidak dianggap sebagai darah haid.
Mustahadhah adalah perempuan yang darahnya keluar terus-menerus melebihi kebiasaan masa berlangsungnya haid. Jika perempuan mustahadhah adalah perempuan yang sudah terbiasa menjalani masa haid setiap bulannya, dan ia mengetahui kebiasaan tersebut, hendaknya ia menjalani masa haidnya hingga selesai. Jika masa haidnya telah selesai, ia diharuskan mandi, mengerjakan salat, puasa seperti biasanya. Namun, ia harus berwudu setiap hendak mengerjakan salat. Jika keadaan mendesak, ia boleh melakukan jimak. Dari Ummu Salamah r.a. bahwa ia pernah meminta fatwa kepada Rasulullah saw. mengenai seorang perempuan yang selalu mengeluarkan darah. Maka, Rasulullah saw. bersabda, "Hitunglah berdasarkan bilangan malam dan hari dari masa haid pada setiap bulan berlangsungnya, sebelum ia terkena serangan darah penyakit yang menimpanya itu. Maka, tinggalkanlah salat sebanyak bilangan haid yang biasa dijalaninya setiap bulan. Apabila ternyata melewati dari batas yang berlaku, maka hendaklah ia mandi, lalu memakai cawat (pembalut) dan mengerjakan salat." (HR Abu Dawud dan An-Nasai dengan isnad hasan).
Waktu Istihadhah
Jika darah istihadhah keluar di luar waktu haid dan nifas serta bukan merupakan kelanjutan yang bersambung dengan keduanya, maka tidak ada persoalan dalam hal tersebut karena sangat mudah mebedakan dan menentukanwaktunya.
Akan tetapi, bagaimana jika darah istihadhah merupakan kelanjutan dan bersambung dengan darah haid atau nifas? Maka jawabannya tergantung kepada empat kondisi beikut ini :
Jika perempuan tersebut memiliki siklus dan masa haid yang teratur, maka ia tinggal menghitung batas akhir kebiasaan haid, kemudian bersuci dan shalat. Darah yang keluar setelah masa haid tersebut bias dikategorikan darah istihadhah, bukan darah haid.
Jika perempuan tersebut tidak mengetahui siklus dan masa haidnya, tetapi ia bias membedakan antara darah haid dan darah istihadhah, maka ia harus melihat perbedaannya. Jika darah yang keluar bukan lagi darah haid, maka ia harus bersuci lalu melaksanakan shalat.
Jika sejak awal haid perempuan tersebut selalu disertai denga darah istihadhah dan ia tidak bias membedakan antara kedua darah tersebut, maka ia harus mengikuti kebiasaan haid kaum perempuan pada umumnya. Jika para perempuan di sekitarnya haid selama, misalnya enam sampai tujuh hari dalam sebulan, maka ia pun harus menetapkan masa haidnya selama enam sampai tujuh hari. Setelah itu, ia harus bersuci dan kembali melaksanakan shalat. Sedangkan darah yang keluar setelah enam sampai tujuh hari itu di anggap sebagai darah istihadhah.
Jika perempuan tersebut lupa terhadap masa dan siklus haidnya serta tidak mampu membedakan antara darah haid dan darah istihadhah, maka ada beberapa pendapat tentang hal itu dikalangan ulama. Pendapat yang paling kuat adlah memasukkan perempuan ini kedalam kelompok yang ketiga.
Hukum Perempuan yang Mengalami Istihadhah
a. Karena perempuan yang mengalami istihadhah dikategorikan suci, hal-hal yang diharamkan bagi orang yang sedang haid tidak berlaku baginya.
b. Perempuan yang mengalami istihadhah boleh berpuasa, shalat, membaca al-Quran, membawa mushaf, sujud tilawah, sujud syukur dan perbuatan-perbuatan ibadah lainnya.
c. Perempuan yang mengalami istihadhah tidak wajib berwudhu setiap hendak mengerjakan shalat karena dalil untuk hal ini sangatlah lemah. Ia hanya diwajibkan berwudhu sesuai dengan kebutuhan ketika akan mengerjakan shalat jka wudhunya batal. Tetapi ia dianjurkan untuk berwudhu dan mandi setiap akan mengerjakan shalat.
d. Perempuan yang mengalami istihadhah juga dibolehkan untuk melakukan I’tikaf di masjid.
Menurut Imam Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahmad, haram hukumnya wanita haid membaca Al-Qur`an. Imam Malik membolehkan membaca beberapa ayat. Sedangkan menurut Imam Dawud az-Zahiri, boleh wanita haid membaca al-Quran (ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hlm. 18)
Mengapa timbul perbedaan pendapat? Sebab para ulama berbeda dalam menilai hadis dalam masalah ini. Nabi saw. bersabda,”Tidaklah boleh orang junub dan juga wanita haid membaca sedikit pun dari al-Quran.” (HR At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Sebagian ulama menganggap hadis ini dhaif (lemah) sehingga tidak layak menjadi hujjah (alasan) (Kifayatul Akhyar, I/77-79; Subulus Salam, I/88). Sementara itu sebagian ulama lainnya menganggap hadis itu bukan hadis dhaif.
Pendapat yang lebih kuat (rajih), adalah pendapat yang mengharamkan wanita haid membaca al-Quran. Sebab meskipun sebagian ulama melemahkan hadis di atas, namun hadis tersebut dianggap hasan (cukup baik) oleh Imam as-Suyuthi, sehingga layak menjadi dalil (As-Suyuthi, al-Jami’ ash-Shaghir, hlm. 205). Namun, yang diharamkan adalah jika wanita haid itu semata berniat membaca (qira`ah), sebagai amal ibadah. Jika, dia tidak meniatkannya sebagai bacaan ibadah, boleh hukumnya membaca al-Quran. Misalnya, membaca Al-Quran dengan niat berdzikir, memberi nasehat atau berdakwah, menceritakan kisah, atau menghafal ayat. (as-Sayyid al-Bakri, I’anatuth Thalibin, I/69). Hal ini sesuai hadits Nabi,”Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu bergantung pada niat-niatnya.”
Hukum wanita haid masuk ke dalam masjid
Wanita yang sedang haid masuk masjid, jumhur ulama, yakni Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, sepakat wanita yang haid tidak boleh berdiam di dalam masjid. Namun Imam Dawud Az-Zahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid (ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah, hlm. 17)
Akar perbedaan pendapat itu karena para ulama berbeda pandangan mengenai hadis Nabi saw. yang berarti, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR Abu Dawud). Jumhur ulama menganggap hadis ini sahih atau hasan, sehingga mengamalkannya dengan mengharamkan wanita haid masuk dan berdiam di masjid. Namun ada ulama yang tidak menganggapnya sebagai hadis yang layak saebagai hujjah. Karenanya mereka tidak mengamalkannya.
Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat jumhur, karena hadis di atas sesungguhnya adalah hadis yang layak menjadi hujjah. Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. (Subulus Salam, I/92). Menurut Ibn al-Qaththan, hadis ini hasan (Kifayatul Akhyar, I/80).
Hukum Mandi wajib bagi wanita haid
Kemudian tentang rambut rontok dan mandi wajib. Dalam mandi wajib, wanita haid diharuskan meratakan air ke seluruh tubuh hingga rambut, termasuk rambut yang rontok sebelum seseorang mandi wajib (Kifayatul Akhyar, I/39; I’natuth Thalibin, I/75). Dalilnya adalah hadis Nabi saw.,”Barangsiapa meninggalkan tempat (selubang) rambut dari mandi janabah yang tidak dibasuh, maka akan diberlakukan begini begini di neraka.” (HR Abu Dawud). Karena itu, rambut termasuk yang harus dibasuh dalam mandi wajib. Termasuk yang rontok sebelum mandi wajib. Kemungkinan perbedaan pendapat bisa saja muncul karena sebab-sebab seperti yang diterangkan di atas. Yaitu karena berbeda penilaian terhadap hadis, atau berbeda dalam memahami pengertian hadis.
Hukum bersetubuh ketika haid
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu‘ Abbas Radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya bagaimana dengan keadaan seseorang yang mendatangi (menjimak atau menyetubuhi) isterinya pada ketika haid. Beliau bersabda: Dia bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.”
Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, ad-Darimi dan an-Nasa’i. Menurut Abu Daud dan al-Hakim, ini adalah hadis shahih. Manakala yang lainnya mengkategorikan hadis ini bertaraf marfu‘ dan mawquf.
Manakala hadis mawquf kepada Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma Baginda Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika (dia) menyetubuhinya (isterinya) pada waktu permulaan darah (haidh), maka (dia membayar) satu dinar. Dan jika (dia) menyetubuhinya (isterinya) pada waktu darah berhenti (kering), maka (dia) membayar setengah dinar.”
Berdasarkan kedua-dua hadis di atas, kaffarah yang dimaksudkan itu ialah 1 (satu) dinar jika berlaku persetubuhan pada permulaan haid, iaitu ketika darah haid masih kuat warnanya.
Manakala ½ (setengah) dinar jika berlaku persetubuhan pada penghujung atau akhir haid, iaitu ketika darah haid beransur lemah warnanya dan hampir-hampir kering atau sudah berhenti.
Adapun maksud dinar di atas adalah dinar mengikut timbangan Islam daripada emas tulin. Satu dinar bersamaan dengan satu misqal daripada emas, iaitu 4.25 gram emas (mengikut timbangan pada zaman sekarang).
Sebagai irsyad, harga minima bagi satu gram emas 21 karat (setakat Irsyad Hukum ini ditulis) ialah $29.70. Maka nilai satu dinar mengikut nilaian matawang ringgit ialah 4.25 gram x $29.70 = $126.225. Manakala setengah dinar pula bernilai $63.1125.
Kaffarah yang disebutkan itu hanya dikenakan ke atas suami sahaja dan disedekahkan kepada golongan fakir dan miskin. Manakala menurut Imam ar-Rafi‘e Rahimahullah, memadai kaffarah tersebut diberikan kepada seorang fakir .
Hukum Bersetubuh Setelah Kering Darah Haid Tetapi Belum Mandi
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Majmu‘ bahawa ulama-ulama Syafi‘e mengatakan apabila perempuan yang haid itu sudah kering darahnya, maka terangkatlah beberapa perkara yang diharamkan ke atasnya seperti puasa, talak dan zhihar.
Adapun larangan kerana disebabkan hadas seperti sembahyang, tawaf, sujud Tilawah dan Syukur, i‘tikaf, memegang dan membaca al-Quran dan tinggal atau duduk dalam masjid, masih dilarang dan masih berjalan hukumnya sehinggalah dia mandi mengangkat hadas besar. Begitu juga larangan bersetubuh dan mubasyarah (menyentuh) kawasan antara pusat dan lutut.
As-Sayyid al-Bakri menukilkan kata-kata Syaikh al-Islam Zakariyya al-Anshari dalam Syarh ar-Raudh, sebagaimana diharamkan bersetubuh pada akhir waktu haid, diharamkan juga bersetubuh setelah darah haid berhenti atau kering sebelum mandi mengangkat hadas besar.
Menurut jumhur ulama, hukum bersetubuh dengan perempuan yang haid sebelum dia mengangkat hadas sekalipun darahnya sudah kering atau berhenti atau bersih adalah haram sehinggalah dia terlebih dahulu mandi mengangkat hadas ataupun bertayammum (pada keadaan sah tayammumnya itu).
Begitu juga dengan mubasyarah (menyentuh) kawasan antara pusat dan lutut sehinggalah perempuan tadi mengangkat hadas besar. Jika dia tidak mendapati air, maka hendaklah dia bertayammum kerana tayammum itu bersamaan dengan mandi dalam mengangkat hadas.Di samping itu jumhur mengatakan jika seseorang bersetubuh dengan perempuan yang sudah berhenti atau kering darah haid dan sebelum mandi, maka (sunat) ke atasnya kaffarah, iaitu bersedekah kepada orang fakir miskin dengan ½ (setengah) dinar.Adapun perbuatan yang haram dilakukan oleh wanita yang sedang haid, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan As-sunnah antara lain adalah:
1. Shalat
Seorang wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan untuk melakukan salat. Begitu juga mengqada` salat. Sebab seorang wanita yang sedang mendapat haid telah gugur kewajibannya untuk melakukan salat. Dalilnya adalah hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا: أنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ دَمَ الحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلاةِ، فَإِذا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابنُ حِبَّانَ وَالحَاكِمُ، وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari Aisyah ra berkata, Fatimah binti Abi Hubaisy mendapat darah istihadha, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya, Darah haidh itu berwarna hitam dan dikenali. Bila yang yang keluar seperti itu, janganlah shalat. Bila sudah selesai, maka berwudhu’lah dan lakukan shalat. .
Dari Aisyah ra. berkata, Di zaman Rasulullah SAW dahulu kami mendapat haid, lalu kami diperintahkan untuk mengqada` puasa dan tidak diperintah untuk mengqada` salat. .
Selain itu juga ada hadis lainnya:
`Dari Fatimah binti Abi Khubaisy bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapatkan haid maka tinggalkan salat.
2. Berwudu` atau Mandi
As Syafi`iyah dan al-Hanabilah mengatakan bahwa `wanita yang sedang mendapatkan haid diharamkan berwudu`dan mandi janabah. Maksudnya adalah bahwa seorang yang sedang mendapatkan haidh dan darah masih mengalir, lalu berniat untuk bersuci dari hadats besarnya itu dengan cara berwudhu’ atau mandi janabah, seolah-olah darah haidhnya sudah selesai, padahal belum selesai.
Sedangkan mandi biasa dalam arti membersihkan diri dari kuman, dengan menggunakan sabun, shampo dan lainnya, tanpa berniat bersuci dari hadats besar, bukan merupakan larangan.
3. Puasa
Wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang menjalankan puasa dan untuk itu ia diwajibkannya untuk menggantikannya dihari yang lain.
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رضيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: أَلَيْسَ إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudhri ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bukankah bila wanita mendapat hatdh, dia tidak boleh shalat dan puasa?
4. Tawaf
Seorang wanita yang sedang mendapatkan haid dilarang melakukan tawaf. Sedangkan semua praktek ibadah haji tetap boleh dilakukan. Sebab tawaf itu mensyaratkan seseorang suci dari hadas besar.
وَعَنْ عَائِشةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ، فَقَالَ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم: افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لا تَطُوْفِي بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila kamu mendapat haid, lakukan semua praktek ibadah haji kecuali bertawaf di sekeliling ka`bah hingga kamu suci.
5. Menyentuh mushaf dan Membawanya
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang menyentuh Al-Quran:
لا يمسه إلا المطهرون
Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci
Jumhur Ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh mushaf Al-Quran
6. Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran
Kecuali dalam hati atau doa/zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung.
`Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub`.
Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak.
Pendapat ini adalah pendapat Malik. Demikian disebutkan dalam Bidayatul Mujtahid jilid 1 hal 133.
7. Masuk ke Masjid
Dari Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak ku halalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh.
8. Bersetubuh
Wanita yang sedang mendapat haid haram bersetubuh dengan suaminya. Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Yang dimaksud dengan menjauhi mereka adalah tidak menyetubuhinya.
Sedangkan al-Hanabilah membolehkan mencumbu wanita yang sedang haid pada bagian tubuh selain antara pusar dan lutut atau selama tidak terjadi persetubuhan. Hal itu didasari oleh sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:
وَعَنْ أَنَسٍ رضيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اليَهُودَ كَانت إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: اصْنَعُوا كُلَّ شَىءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ
`Dari Anas ra. bahwa orang Yahudi bisa para wanita mereka mendapat haidh, tidak memberikan makanan. Rasulullah SAW bersabda, Lakukan segala yang kau mau kecuali hubungan badan.
وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Aisyahra berkata, Rasulullah SAW memerintahkan aku untuk memakain sarung, beliau mencumbuku sedangkan aku dalam keadaan datang haidh.
Keharaman menyetubuhi wanita yang sedang haid ini tetap belangsung sampai wanita tersebut selesai dari haid dan selesai mandinya. Tidak cukup hanya selesai haid saja tetapi juga mandinya. Sebab di dalam al-Baqarah ayat 222 itu Allah menyebutkan bahwa wanita haid itu haram disetubuhi sampai mereka menjadi suci dan menjadi suci itu bukan sekedar berhentinya darah namun harus dengan mandi janabah, itu adalah pendapat al-Malikiyah dan as Syafi`iyah serta al-Hanafiyah
SUMBER: Klik Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar